Liputan6.com, Jakarta - Peneliti medis telah membuka kemampuan yang inovatif pada kecerdasan buatan (AI), yakni: memprediksi kematian dini seseorang.
Para ilmuwan baru-baru ini melatih sistem AI untuk mengevaluasi satu dekade data kesehatan umum yang diajukan oleh lebih dari setengah juta orang di Inggris.
Kemudian, mereka menugaskan kecerdasan buatan untuk memprediksi apakah individu berisiko meninggal sebelum waktunya - dengan kata lain, lebih cepat dari harapan hidup rata-rata - akibat penyakit kronis, para peneliti melaporkan dalam sebuah studi baru.
Prediksi kematian dini yang dibuat oleh algoritma AI "secara signifikan lebih akurat" daripada prediksi yang disampaikan oleh model yang tidak menggunakan mesin kecerdasan buatan, penulis studi utama Dr. Stephen Weng, asisten profesor epidemiologi dan ilmu data di University of Nottingham di Inggris, mengatakan dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Live Science, Minggu (31/3/2019).
Untuk mengevaluasi kemungkinan kematian dini subjek, para peneliti menguji dua jenis AI: "pembelajaran yang mendalam", di mana jaringan pemrosesan informasi berlapis membantu komputer untuk belajar dari contoh; dan "studi acak," jenis analisis menggunakan AI yang lebih sederhana yang menggabungkan banyak model untuk mempertimbangkan kemungkinan hasil.
Kemudian, mereka membandingkan kesimpulan model AI dengan hasil dari algoritma standar, yang dikenal sebagai "model Cox".
Dengan menggunakan ketiga model ini, para ilmuwan mengevaluasi data di UK Biobank - bank data akses terbuka berisi data genetik, fisik dan kesehatan - yang diajukan oleh lebih dari 500.000 orang antara 2006 dan 2016. Selama waktu itu, hampir 14.500 peserta meninggal, terutama akibat kanker, penyakit jantung dan penyakit pernapasan.
Ketiga model menentukan bahwa faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, riwayat merokok dan diagnosis kanker sebelumnya adalah variabel teratas untuk menilai kemungkinan kematian dini seseorang. Tetapi model-model itu juga dengan faktor-faktor kunci lainnya, menurut temuan para peneliti.
"Model Cox" sangat bergantung pada etnis dan aktivitas fisik, sedangkan model "pembelajaran yang mendalam" tidak.
Sebagai perbandingan, model "studi acak" lebih menekankan pada persentase lemak tubuh, lingkar pinggang, jumlah buah dan sayuran yang dimakan orang, dan warna kulit, menurut penelitian. Untuk model "pembelajaran yang mendalam", faktor-faktor utama mencakup paparan terhadap bahaya terkait pekerjaan dan polusi udara, asupan alkohol dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Ketika semua angka-angka telah dilakukan, algoritma AI "pembelajaran yang mendalam" memberikan prediksi yang paling akurat, mengidentifikasi 76 persen subjek yang meninggal selama periode penelitian dengan benar. Sebagai perbandingan, model hutan acak memprediksi dengan benar sekitar 64 persen kematian dini, sedangkan "model Cox" hanya mengidentifikasi sekitar 44 persen.
Dalam studi baru, para ilmuwan menunjukkan, dengan penyetelan hati-hati, algoritma AI "pembelajaran yang mendalam" dapat digunakan untuk memprediksi hasil kematian dari waktu ke waktu, kata rekan penulis studi Joe Kai, profesor perawatan primer University of Nottingham, dalam pernyataannya.
Meski menggunakan kecerdasan buatan (AI) dengan cara ini mungkin asing bagi banyak profesional perawatan kesehatan, namun, menghadirkan metode yang digunakan dalam penelitian ini "dapat membantu dengan verifikasi ilmiah dan pengembangan masa depan pada bidang yang menarik ini," kata Kai.
Temuan ini diterbitkan online pada 27 Maret 2019 di jurnal PLOS One (peer-reviewed open access scientific journal).
Simak video pilihan berikut:
March 31, 2019 at 06:35PM from Berita Hari Ini Terbaru Terkini - Kabar Harian Indonesia | Liputan6.com https://ift.tt/2I2PW7d